-->

Sepuluh Jari Arminaven~Season 2

No comments

Sanggar Kata ~ Cerpen | Setelah lama tidak menulis cerpen, akhirnya saya bisa menyelesaikan juga, walaupun ceritanya belum selesai. Cerpen ini merupakan permintaan para pembaca untuk lanjutan cerpen yang berjudul Sepuluh Jari Arminaven. Cerita ini terinspirasi kisah nyata tentang kehidupan sehari-hari yang sederhana. Adapun nama tokoh yang ada dalam cerpen ini merupakan fiktif semata.

Sepuluh Jari Arminaven~Season 2


sepuluh jari arminaven~Season 2
Dua jam tiga puluh empat menit, pelatihan ini berlangsung. Sisa-sisa kepenatan kerja dalam terik siang yang menyengat. Otak-otak yang telah over load dipaksa untuk menginstall aplikasi baru dengan kapasitas besar, hingga akhirnya hang! Lebih sialnya lagi besok data harus dikirim.

“Pak, ini bagaimana? Kok aplikasinya di notebook saya gak bisa dibuka?”

“Iya pak, punya saya pun gak bisa.” Tanya ibu yang lain. “Punya saya juga pak.”

“Aplikasinya cuma bisa di laptop bu.” Timpal seorang ibu-ibu.

“Coba lihat kesini dulu pak! Saya gak bisa login.” Seorang bapak minta tolong kepada pemateri yang memberi pelatihan. Dia coba ngutak-ngatik laptop bapak itu.

“Aduh saya juga gak tahu nih gimana.” Suasana semakin ramai karena ternyata aplikasi pendataan yang baru malah bikin bingung, dan bermasalah. Semua peserta mengeluh. Pemateri yang tak lain operator sekolah yang ikut pelatihan di Jakarta pun tak bisa mencari solusi. Apalagi yang lain.

Di pojok ruangan arminaven terkekeh melihat hal itu. Penjelasan yang ditampilkan dalam slide tak mampu dipahami orang-orang disana. Entah karena yang menyampaikannya masih amatir atau karena pesertanya masih pemula. Akhirnya pemateri bingung sendiri harus kesana kemari melihat laptop para peserta yang bermasalah. Kasihan melihat hal itu, dia angkat bicara.

“Mohon maaf bapak ibu sekalian saya minta waktunya sebentar.” Orang-orang menoleh semua ke arah arminaven.

“Sepengetahuan saya. Aplikasi pendataan ini tidak terbatas untuk laptop saja, karena di notebook saya pun bisa.” Ibu yang tadi bilang cuma bisa di laptop, hanya menunduk dengan wajah merah.

“Lalu untuk membuka aplikasi, coba buka folder aplikasi data siswa, terus cari file yang bereksistensi .exe seperti ini.” Dia mencotohkan dalam slide. Peserta pun mengangguk dan mengikuti.

“Nah, lalu tinggal login dengan NISN dan password masing-masing.” Lalu dia melanjutkan tahapan demi tahapan yang telah dia praktekan sendiri dan akhirnya dimengerti semua orang.

“Namun masih ada yang bermasalah nih, saat hendak upload data dari excel. Ini yang belum terpecahkan. Saya juga gak tahu kalau masalah ini. Udah dicoba berkali-kali sesuai panduan tapi gak bisa. Mungkin nanti pemateri bisa menjelaskan lebih lanjut.”

“Terima kasih pak armin, yang penting kita bisa login dulu.” Ucap salah seorang peserta.

“Untuk saat ini yang penting bapak ibu melengkapi profil lembaga dahulu yang ada di aplikasi ini. Nanti saya coba tanyakan terkait masalah upload data excelnya. Karena saya juga gagal terus saat upload datanya.” Tambah pemateri.

Secara mendadak arminaven menajadi pusat perhatian. Banyak orang berhasil memperaktekan yang dia ajarkan. Dengan pembawaannya yang santun mereka mulai meliriknya. Namun, tidak bagi pemateri sesungguhnya yang saat itu seperti mati berdiri.

Bukan sebuah reputasi yang Arminaven cari. Namun, dia sudah kesal setiap kumpul operator hasilnya tak jelas. Belum lagi tekanan dari atasan yang harus menyelesaikan data-data dalam waktu mendesak dengan perintah yang mendadak. Ditambah lagi dengan system yang selalu baru dan terkadang tidak cocok dengan versi sebelumnya. Setidaknya arimanaven senang bisa membantu orang lain.

Hari-hari berikutnya, kepala sekolah semakin bangga dengannya. Bagaimana tidak, kepala diknas sempat memujinya karena sekolahnya menjadi yang pertama kali melengkapi pendataan. Beliau berpikir tak salah orang ketika meminta arminaven kembali bekerja di sekolahnya, setelah memecatnya.

Arminaven di satu sisi merasa senang, di sisi yang lain kehidupannya terlihat seperti robot yang dipekerjakan tanpa kenal waktu. Siang malam handphone-nya berdering, orang-orang yang bermasalah dalam aplikasi pendataan akan mengadu padanya. Bahkan ada yang menawarkan untuk mengerjakan pendataan sekolah mereka padanya.

Tak ada kata libur, selalu ada saja yang menghubunginya. Sampai-sampai ada yang sengaja datang ke rumahnya hanya untuk mengerjakan pendataan. Sungguh melelahkan. Saking kesalnya dia sering sengaja matikan HP-nya, dengan begitu dia sedikit bisa tenang. Walau pun sebenarnya lumayan juga dari orang-orang yang dibantu itu selalu memberikan tip. Hitung-hitung uang pulsa lah.


“Kenapa sih akhir-akhir ini susah banget dihubungi?” protes Niyala.

“Kamu sekarang beda. Lebih mentingin pekerjaan daripada,”

“Sstt. . . kamu jangan ngomong gitu dong. Aku kan melakukan ini semua untuk,” belum selesai bicara tiba-tiba kepala sekolah memanggil.

“Sebentar ya, jangan kemana-mana.” Arminaven pun buru-buru melangkahkan kaki ke ruangan Kepala Sekolah. Ketika dia kembali ke ruang kerjanya, Niyala sudah tak ada. Arminaven hanya bisa memangku dagu dengan tangannya diatas meja. Dia coba telpon Niyala, tapi tak diangkat. Sudah dia coba sampai tiga kali tetap tak diangkat juga. Dia coba meminta maaf lewat pesan singkat. Tak ada balasan juga. Saat rambutnya hampir memutih dan jenggotnya beruban karena terlalu lama menunggu, sebuah pesan masuk. Dengan mata berbinar dia membuka pesan.

“Pelanggan yang terhormat, masa aktif kartu anda akan berakhir. . . “

“Aaagrrh . . sialan.” Pengen dia banting tuh HP.

Keesokan harinya Niyala masih terdiam. Entah kenapa dia seperti terus menghindarinya. Ketika disapa pun jawabannya singkat-singkat. Hingga akhirnya dia memaksa untuk menemuinya.

“Kenapa sih kamu menghindar terus. Kalau aku punya salah bilang dong!”

“Kok kamu diam aja sih? Please jangan diemin aku gini dong. Aku tahu aku salah. Aku terlalu sibuk dan kurang memperhatikanmu. Aku minta maaf.” Niyala pun akhirnya mau bicara.

“Kamu gak pernah salah mas. Aku ngerti kok dengan kesibukan kamu sekarang, aku gak suka aja lihat kamu terlalu sibuk sampai lupa segalanya. Kuharap kamu gak lupa untuk acara minggu depan.”

“Syukurlah kalau begitu. Tenang aja, Aku gak bakal lupa untuk hal itu. Aku akan luangkan waktu. Dan aku udah siapin sesuatu untukmu. Kamu pasti suka.” Niyala tersenyum mendengar hal itu. Bulan pun seakan bersinar siang itu, suasana pun cair kembali.


Hari yang dijanjikan pun tiba. Arminaven sudah menyiapkan segalanya. Jantungnya berdebar tak tenang. Ia yakin di suatu tempat Niyala sedang menuggu dengan rasa yang sama. Diatas motor kesayangannya, dia melihat bayangannya di kaca spion. Arminaven membetulkan kerah bajunya.. Brum..Brumm.. suaranya mesinnya terdengar gagah. Segagah tubuh kekarnya. Ketika hendak tancap gas. HP-nya berdering. Iya tempelkan ke telinganya.

“Waalaikum salam pak kepala.”

“Kamu siap-siap ya, malam ini berangkat ke Jakarta.”

“Ada apa pak ya?”

“Ada pelatihan untuk operator se-Indonesia”

“Kenapa saya pak? Bukannya biasanya juga Pak Akhirmali?”

“Itulah pak akhirmali mendadak sakit, terus kepala dinas maunya kamu yang pergi mewakili kabupaten.”

“Tapi pak?”

“Udah gak usah tapi-tapian ini mendesak. Pokonya kamu harus berangkat. Tiket pesawat sudah disiapkan.”

“Sebentar pak, dengar penjelasan saya dulu. Pak . .pak. .  pak. . . halo.. halo!”

“Aahh dimatiin.”

Bagai buah simalakama yang tiba-tiba jatuh menimpa kepalanya. Antara janji dan tugas, Antara cinta dan kerja. Dia harus memilih. Bukankah cinta dan kerja seharusnya berjalan harmoni? Dilema. Jika dia memilih cinta maka dia mengkhianati kepercayaan yang diberikan padanya. Jika dia memilih kerja, maka dia mengkhianati janjinya. “Ya Tuhan, manakah yang harus kupilih?” desahnya lirih.



Bagaimanakah cerita selanjutnya? Apakah Arminaven menepati janjinya kepada Niyala atau lebih memilih pergi ke luar kota? Nantikan cerita selanjutnya. ^  ^

© 2015. Sanggar Kata

Comments

masawan_moveElement('after',setting.taghtml,setting.index,'content-ads','article-post','beforeend'); });