Kala malam datang bibir dan lidahnya
pedih kekeringan, sedangkan tangannya hampa sehampa perutnya yang melilit
kelaparan.
Dia duduk dibawah pohon lalu
ditertawakan pejabat di balik lipatan spanduk kampanye yang usang. Dalam keadaan
yang seperti itu ia coba berdemo pada Tuhan : “Oh Tuhan, telah kuupayakan
segala kehidupanku. Kuketuk perusahaan namun tak ada satu pun yang memberiku
pekerjaan. Kucoba ketuk pintu orang kaya untuk meminjam modal tak ada yang
percaya melihat hidupku yang papa. Ketika masa kampanye kutunggu janji para
pejabat untuk mengentaskan kemiskinan, namun sampai sekarang tak merubah
keadaan. Dalam kebingungan hidup kupaksakan meminta sedekah, namun ditolak
umatmu dengan menistakanku “Sebenarnya dia kuat tapi malas, tak sepatutnya
meminta belas.”
“Oh Tuhan, haruskah aku mati dalam
kenistaan ini?”
Wajahnya tiba-tiba berubah, dia
bangkit berdiri dengan mata berapi-api. Diambilnya potongan besi di dekatnya. Diacungkannya
ke arah kota dengan berteriak kasar. “Sekuat tenaga aku menjerit minta sesuap
nasi namun kau menolakku dengan berlaga buta tuli. Kini aku tidak meminta lagi.
Tidak menjerit lagi, akan kuambil sendiri dengan kekuatan tanganku. Dulu telah
kucoba meminta dengan baik hati, namun rasa kemanusiaanmu telah mati. Sekarang atas
nama kejahatan akan kuambil sendiri!”
Tahun tahun berlalu. Dia terkenal di
kota itu dengan penodong, pencuri, perampok, pembunuh. Sampai tak ada lagi yang
dapat menyainginya. Ditumpuknya harta sebanyak-banyaknya. Kepopulerannya
membuat ia terhormat di kalangan bangsa seprofesinya. Sampai-sampai hal itu
menyebabkannya dekat dengan pejabat dan penguasa negeri.
Dalam sebuah pemilihan, dia didukung
dengan kekuasaan dan uang. Dibayarnya otak-otak dungu dengan lembaran uang yang
murah. Jabatan penting pun di negeri itu pun dia duduki. Kekerasan dan
pencurian kini telah didukung oleh kekuasaan. Pembodohan dan penindasan kaum
lemah menjadi kebiasaan. Dicurinya uang-uang Negara, dijualnya aset-aset kota
untuk dirinya sendiri. Sesekali dia berbisik kepada Tuhan : “Tuhan, inilah
balasan atas kenistaan yang dulu mereka berikan kepadaku rakyat miskin. Atas nama
rakyat miskin, aku telah mengentaskan kemiskinan di negeriku.”
Demikianlah keserakahan telah mengubah
manusia mematikan rasa kemanusiaan.