Sepuluh jari Arminaven berhenti menari, setelah kata
yang dia cari tak ketemu. Berbagai group di facebook pun telah dia tanyakan.
Namun tak menghasilkan informasi yang jelas. Akunnya dibobol orang. Blog yang
dia bangun sejak kuliah telah hancur - Hasil begadang semalaman, mengabaikan
tugas-tugas kuliah, dan mengunjungi warnet dan kafe yang menyediakan hotspot-
Maka wajar kalau dia naik pitam. Semua orang akan merasakan hal yang sama jika
berada dalam posisinya. Lebih sialnya lagi, esok hari kerja.
“Mana data para guru?! Kenapa belum kamu input?!”
“Maafkan saya Pak, internet tadi malam bermasalah.
Saya janji siang ini selesai.”
“Janji kamu kemarin pagi ini.”
“Kalau kamu telat input datanya, nanti semuanya
berantkan! Guru-guru naik pangkatnya telat, anggaran turunnya juga telat. Apa jadinya
lembaga kita ini?!”
“Saya janji pak segera selesai.”
“Janji . . janji . .janji. . Makan tuh janji!”
Arminaven memperbaiki duduknya. Dia hela nafas
panjang. Kedua tangannya mengepal menyangga wajahnya. Niyala datang
membawakannya minuman.
“Pak Kepala marah-marah lagi ya?” Niyala duduk di
samping arminaven.
“Ih Mas Armin, kok mata kamu merah sih? Semalam gak
tidur ya? Muka kamu juga pucat. Kayanya kamu sakit deh.”
“Mmm . . Gak kok, aku baik-baik aja. Mungkin cuma terlalu
capek.”
“Tuh kan suka gak ngaku. Jangan terlalu berlebihan
gitu dong. Kerja sampe begadang tapi tetep aja dimarahin. Kasian banget sih Mas.”
“Namanya juga kerjaan belum kelar. Ya wajar lah.”
“Ha ha . .Aku juga kemarin kena semprot Pak Kepala. Telat
nyerahin surat ke beliau lima menit. Nyrocosnya lima jam.” Ha ha . .Nasib . .
Nasib.”
“Hahaha . . Nasib bawahan emang selalu ditindas
atasan.”
Arminaven kembali ke meja kerjanya. Dia fokus dengan
monitor di hadapannya. Sepuluh jarinya kembali menari. Bukan input data yang
dia lakukan. Iya! tepat sekali. Blogging. Dia cek akun publishernya, menjadi publisher
bisnis online adalah awal menjadi owner. Sayang sekali saat ini akunnya sedang
bermasalah. Tentu hal itu bermasalah dengan penghasilannya. Baginya eksis di
dunia maya itu adalah investasi masa depan.
>>Sanggar Kata<<
Bermain kode html dengan script yang membingungkan,
terdengar membosankan. Namun itu tantangan untuk arminaven. Dia coba mengecek
barangkali ada kode yang salah. Yang membuat celah orang bisa masuk. Dia juga
sudah melaporkan hal ini ke admin, walaupun sampai saat ini blum ada kejelasan.
Arminaven sangat serius sampai dia lupa segalanya. Bahkan dia lupa kejadian siang
itu.
“Oh jadi ini kerjaan kamu di intenet?! Pantas saja
input datanya gak kelar-kelar.” Wajah Pak Kepala merah padam. Arminaven kaget
bukan main.
“Sekarang juga kamu saya pecat! Pergi kamu dari sini!”
Arminaven terkekeh mengingat hal itu.
“Kerjaan dipecat, akunku dibobol. Sialan!”
“Kamu sih, dari dulu udah aku peringatin tapi masih
aja ngeyel. Seberapa berartinya sih blogging itu untuk kamu?” Niyala merebut laptop
itu, dan memainkan jemarinya di sana.
“Kamu gak kan pernah ngerti, bagaimana pun itu hoby
dan cita-cita yang sangat berarti. Seperti berartinya kamu untukku.”
“Ih apaan sih. Hoby sih hoby tapi kan gak mesti harus
dipecat segala!”
“Kalo gitu kan bagus. Artinya aku bisa lebih fokus untuk
bisnis. Daripada harus jadi karyawan . . .”
“Bang armin! Liat nih ada email masuk.” Mata arminaven
menyergap dengan cepat.
“Se-la-mat! A-kun an-da te-lah ber-ha-sil ka-mi per-ba-i-ki.”
“Yeeeaa . . .horee”
“Eh kenapa malah kamu yang senang?” pipi Niyala
memerah. Malu.
“Mungkin inilah jalan hidupku. Tak sia-sia perjuangn berhari-hari.
Haha. . .”
Di tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba handphone
arminaven berbunyi.
“Siapa yang nelpon?”
“Pak Kepala.”
“Kenapa gak diangkat?”
“Gak ah. Gak usah.” Dua kali panggilan tak diangkat. Lalu
ada pesan masuk.
“Maafkan saya atas kejadian waktu itu, saya harap
kamu bisa kembali bergabung dengan lembaga ini. Karena sampai saat ini, tak ada
yang bisa menempati posisimu.”
Bagai oase di gurun pasir pesan itu. Pandangan mereka
bertatapan.
“Jadi gimana Mas?” Tanya Niyala.