Peristiwa di Subuh Maulid

Peristiwa di Subuh Maulid
Peristiwa di Subuh Maulid

Sanggar Kata | Cerpen Islami~Subuh ini terasa lebih dingin daripada kemarin, air wudhu yang menjamah kulit seakan meresap hingga ke sumsum. Kabut tebal menyelimuti pandangan menyatu dengan aroma kesegaran. Kuayunkan kaki menapaki seruan adzan nan syahdu. Ternyata Mbah Hamid sudah duluan tiba di masjid. Bahkan beberapa orang yang biasanya berjamaah tak terlihat lagi. Mungkin sebentar lagi mereka datang.

“Ayo nak Bayu imam, sepertinya sudah tak perlu lagi ada yang ditunggu.” Seru mbah Hamid setelah selesai sholat qobliyah. Dia pun langsung iqomah.

Sholat subuh ditunaikan dengan dua barisan penuh. Satu barisan imam dan satu barisan makmum. Ya, Aku dan mbah Hamid. Memilukan. Padahal masjid ini besar! Cerobong speakernya saja ada empat. Mengarah ke setiap penjuru mata angin. Entah suaranya yang kurang keras atau telinganya yang terlalu tebal. Entahlah aku pun tak tahu.

Yang kutahu, dulu saat membangun masjid ini warga desa bergantian mengumpulkan uang dari tangan-tangan yang melambai dari kendaraan yang lewat. Di pinggir jalan. Dengan dalih shodaqoh jariah. Dengan kotak-kotak dari kardus, dan kaleng-kaleng bekas kue lebaran alat yang kami gunakan. Juga Mbah Hamid yang saat itu berorasi di speaker untuk memotivasi orang bershodaqoh.

Beruntung saat itu ada orang dermawan menemui kami, tepatnya menemui mbah Hamid. Entah apa yang mereka bicarakan. Nampaknya dia mau menyumbang. Bahkan dia tanggung seluruh biaya sampai bangunan masjid selesai. Betapa kagumnya aku melihat orang seperti itu. Nanti kalau aku sudah besar aku ingin seperti dia. Mbah Hamid tak memberi tahu namanya saat kutanya siapa. Dia tidak ingin ria, takut mengurangi keikhlasan jawab mbah Hamid.

Akhirnya aku tahu orang itu. Sekarang dia sudah menjadi anggota DPR. Katanya Mbah Hamid menjadi salah satu tim suksesnya. Apakah karena dulu dia menyumbang ke masjid ini? Entahlah. Yang jelas sampai sekarang aku tak pernah melihatnya berjamaah di sini. Kecuali sekali. Saat mejelang pemilu.

Biasanya setelah sholat subuh aku dan Mbah Hamid pulang bersama. Karena rumah kami ada di gang yang sama. Sambil berjalan aku selalu mendapatkan pencerahan darinya. Bukan karena dia kiyai atau lulusan pesantren, tapi lebih karena istiqomahnya dia mengamalkan yang dia tahu walaupun sedikit. Hal itu yang membuatnya bijak. Aku tahu bacaan Al-Qur’an pria berusia senja itu tidak terlalu fasih, makanya kalau aku ke masjid selalu aku yang disuruh menjadi imam. Mungkin karena aku pernah mondok walaupun satu tahun karena tak betah.

“Nak Bayu kemarin subuh kemana?” aku malu mendengar pertanyaan itu, aku yang suka ngomongin orang tidak ke masjid. Aku yang pernah mondok. Aku sendiri kadang masih bolong-bolong sholat berjamaah. Aku tersenyum kecut.

“Anu mbah, kemarin malam aku ngerjain tugas sampai larut. Kesiangan deh jadinya.hehe”

“Dasar anak muda. Ngerjain tugas apa tugas?” ledeknya.

“Ayo mbah kita pulang.” Ajakku.

“Nak Bayu duluan saja, Mbah mau sholawatan dulu sambil menunggu waktu dhuha. Hari ini kan maulid Nabi.”

“Oh gitu . .” bahkan aku lupa kalau sekarang 13 Rabiul Awal. Aku malu jadinya. Seandainya Rasul masih hidup mungkin dia akan benci melihat umat sepertiku.

“Yaudah Mbah aku duluan, tapi sebelumnya aku mau bertanya.”

“Bagaimana caranya biar istiqomah?”

“Perbaiki niatmu nak.”

“Terus kalau cara agar semua orang yang ada di sini sholatnya berjamaah di masjid?”

“Hmm berat sekali pertanyaanmu. .  Kalau menurut mbah ya satu-satunya cara adalah dengan memastikan diri kita sholat berjamaah di mesjid.”


Subuh itu Aku pun pulang membawa sebersit mentari iman yang terbit di hati dan berharap mentari itu tetap bersinar hingga akhir hayat.

 Copyright ©2014. Muzhoffar

Previous Post Next Post

Contact Form