Emak Ingin Aku Wisuda |
Sanggar Kata | Cerpen Inspiratif ~ “Emak
Ingin Aku Wisuda” | Sembilan
semester sembilan puluh sembilan hari, Cuma itu. Bahkan lebih dari separuhnya
aku jejaki hari dalam kegamangan dan kegalauan tingkat tinggi. Hasil belajar,
diskusi, seminar dan segudang aktifitas keorganisasian beserta puluhan
sertifikat tak cukup membuatku diakui. Yah semua itu harus diakhiri dengan
skripsi! Tugas akhir menyebalkan yang membuat mahasiswa malas sepertiku
mendapatkan gelar sangat memuaskan saat lulus. Puas berlama-lama kuliah! Tiga
kali sudah kuajukan judul. Itu artinya tiga kali bikin point dan tiga hari gak
makan. Lebih sialnya lagi tiga tiganya ditolak.
Selepas penolakan itu aku lebih
sering benamkan kepalaku di bawah bantal. Tanpa diminta pun mataku langsung
terpejam walau tanpa pemanasan sedikit pun sebelumnya. Padahal hari-hari
sebelumnya tak ada sedikit pun keinginan untuk tidur setelah subuh. Apalagi di
bulan ramadhan seperti ini. Aku relakan waktu tilawahku berkurang hanya untuk
nongkrong di depan lepi. Cieee. . . ngapain tuh? Nulis Skripsi!
Niat hati memeluk gunung apalah daya
tangan tak sampai. Niat hati menulis skripsi apalah daya tak juga selesai.
Pepatah itu sangat menginspirasiku, daripada susah-susah meluk gunung mendingan
juga meluk guling. Namun kicauan emak selalu mengganguku, DM nya di twitter. Di
PING!!! berkali-kali di BBM. Maklum emak gua
emang lumayan gahol. Akhirnya gara-gara itu semua orang di dunia tahu dari mulai
orang tua sampai anak-anak, pria dan wanita semua tahu bahwa aku belum juga
kelar skripsi. dari kalangan orang tua ya emak dan papihku, dari kalangan
anak-anak ya adik-adikku. Satu kata yang selalu ditanyakan emak padaku “Gimana
skripsi?” dan satu jawaban yang selalu kukatakan pada Emak : “Insya Allah
selesai mak.”
Pagi itu emak menarik-narik
selimutku, memaksaku bangun.
“Hey cepet bangun! Gimana mau kelar
skripsi kalo molor mulu!”
“Iya mak bentar lagi dah.” Emak
terus-terusan menarik lagi selimutku. Bahkan tangannya memukul-mukul kakiku.
“Heh bangun! Dah siang! Buruan
bangun!” Bentaknya. Emosiku pun sedikit naik.
“Iya iya! Bawel banget sih ah! Ganggu
aja orang lagi enak-enak tidur.” Kutarik lagi selimut. Emak pun keluar dari
kamarku sambil ngomel-ngomel.
Saat itu benar-benar aku merasa
kesal. Namun mata ini tak lagi bisa terpejam. Di bawah lipatan selimut aku
mendengar suara sesenggukan di luar. Aku terperanjat. Lalu aku bangun ke luar
kamar dn kulihat emak sedang duduk di beranda. Matanya mendongak menatap langit
biru, ada lintasan air mata di pipinya. Astaghfirullah, istighfarku dalam hati.
Kulangkahkan kaki mendekat. Aku terdiam di sampingnya.
“Emak lagi bayangin kalo anak pertama
emak jadi sarjana. Betapa senangya orang tua bisa melihat anaknya pakai toga
diwisuda. Emangnya salah ya kalo emak pengen punya anak diwisuda?” sungguh
pertanyaan yang tak semestinya diucapkan emak. Aku pun langsung memeluk
kakinya.
“Maafin Entong mak. Entong udah salah
sama emak. Entong janji bakal cepet-cepet nyelesein skripsi.” Emak pun
mengusap-ngusap kepalaku. Tetesan air matanya menetes di wajahku.
“Kamu mau kan bahagiain emak?”
“Iya mak.”
“Yaudah cepetan mandi terus sholat
dhuha. Berdoa sama Allah biar dimudahkan.”
Kucekik leher pena. Darah hitam pun moncor
dari mulutnya. Kucoret judul-judul yang kembali akan kuajukan. Kubuka buku-buku
referensi. Setelah yakin aku tuliskan di laptop. Kucoba hubungi pembimbing yang
super sibuk. Telponku gak dibalas, sms-ku pen gak diangkat. Gumamku dalam hati
“Mungkin ini sebuah ujian yang harus aku hadapi.”
“Spiriiiiittt. . . Allahu Akbar!”
“Ntong! Kenape lu? Masih waraskan?”
Kudengar teriakan emak dari luar kamar. Ternyata gak nyadar aku teriak-teriak
sendiri. Itulah nasib ketika sudah menjadi bubur. Eits . . . maksudnya?
Di saat onfire kaya gitu,
ideku mentok untuk mencari judul baru. Kucoba bertanya pada langit, langit tak
mendengar. Kucoba bertanya pada rumput, rumput asik bergoyang. Akhirnya
kubertanya pada google, google memberi jawaban! Aku pun mulai membuat proposal
judul yang baru. Dengan segala upaya, atas nama pembaktianku pada Emak aku
bersungguh-sungguh. 70 menit berikutnya.
“Emaaakk . . aku berhasil!
“Waaahhh.. hebat anak emak!” jawab
emak. Lebay.
Keesokan harinya aku pamit sama emak.
Linangan air mata pun tak tertahankan. Kembali pipi emak terbelah oleh 2 sungai
air mata. Sampai akhirnya tangisku pun pecah kupinta doanya mesti tak harus
dipinta.
“Entong, emak doakan kamu supaya
lancar dan judul kamu diterima. Tapi, kenapa kamu masih menangis nak?”
“Ongkosnya mak belum ada . . hiks. .
hiks . .hiks . . .” Emak langsung memelototiku.
#SanggarKata
Jakarta I’m coming! Ditemani dua
orang sahabat lama aku berjalan pasti ke kampus. Kucari tahu apakah
pembimbingku datang atau tidak.
“Tunggu sebentar. Beliau masih di
kelas.” Kata dosen yang lain. Aku pun senang mendengarnya. Aku tunggu ditemani
kesabaranku. Sudah lama menunggu, tak kunjung bertemu. Berkali-kali kulihat jam
tangan sampai dia bosan melihat wajahku. Hingga aku berdiri di ujung
penantianku, ketika hendak pergi, dosen itu datang. Horeeee… kudekati dia dan
kujabat tangannya.
“Memangnya kita ada janji ya?”
Tanyanya heran. Sumpah nyesek banget. Mukaku merah.
“Maaf pak sebelumnya. Saya sudah
berusaha telpon bapak, gak dibalas. SMS pun gak diangkat. Saya harus bagaimana
pak?”
“Kamu kan sudah tahu peraturan saya.
Saya gak mau melayani kalau tidak ada janji.”
“Tapi pak, saya jauh-jauh datang
hanya untuk ketemu bapak.” Dengan memelas aku memohon.
“Tujuh detik saja pak. Lihat dulu
proposal judul saya.” Kuberikan proposal judul di tanganku. Dosen itu pun
menerimanya, dan membuka-buka setiap halaman.
“Ayo ikut ke ruangan saya!”
lanjutnya.
Evethings by procces! Segala sesuatu
itu butuh proses. Huruf demi huruf yang kuketik merajut kata yang menguntai dalam kalimat hingga
terbentuk sebuah Bab. Bab demi bab yang disusun menjadi sebuah rangkaian
skripsi yang utuh. Teringat ketika emak selalu menyiapkan secangkir kopi di
samping laptopku, pijitan papih yang merelakskan pundakku yang kaku. Larangan
mereka kepada adik-adikku yang ingin menyentuh laptopku. Semua terasa indah
diingat. Sebuah dukungan yang sangat berarti.
Tahapan demi tahapan aku lalui.
Bimbingan demi bimbingan pun terlewati. Hingga sampai pada bimbingan terakhir. Aku
senang ketika melihat Dosen Pembimbing tersenyum melihat-lihat skripsiku. aku
yakin hasilnya pasti tidak mengecewakan. Kulihat dia mencoret-coret di beberapa
halaman.
“Bagaimana pak?”
“Bagus! Minggu depan kamu sidang.
Tapi, kamu harus perbaiki kekurangan-kekurangan ini.” DP pun memberi isyarat
dimana yang harus kuperbaiki.
“Dua hari sanggup?”
“Sanggup pak!” Jawabku semangat.
“Kalau kamu bisa perbaikan dua hari,
sabtu depan kamu bisa sidang.”
“Kamu bisa sidang tahun ini. Tapi,
wisudanya tahun depan.”
“Apa?!” Pernyataan bagian
kemahasiswaan membuatku kaget. Bayanganku untuk mengenakan toga tahun ini sirna.
“Masa kaya gitu pak?”
“Iya soalnya kamu sidangnya di akhir
tahun. Udah lah jangan mikirkan wisuda, yang penting kamu sidang dulu.”
Semua persiapan sudah kulakukan. Mulai
dari menerka-nerka apa yang akan ditanyakan hingga menerka yang gak bakal
ditanyakan. Hal itu penting! Mempersiapkan mental dan fisik. Tak kusangka
120x24 jam umurku dihabiskan untuk skripsi ini. Aku yakin besok adalah adalah
akhir perjuangan ini.
Pagi hari aku bersiap dengan kemeja
rapih, sepatu kinclong dan dasi kupu-kupu. Ups salah! Dasi merah yang pake
karet maksudnya! Ketika sudah bersiap seperti itu. Bagian kemahasiswaan
menemuiku.
“Maaf ya, sidangnya diundur hari
kamis.” Ya salaam. . Apalagi ini? Huff. Kuhitung
jari. Sabtu bertemu kamis itu butuh melewati satu minggu, dua senin dan tiga
selasa lalu rabu! Hadoh dongkol juga nih lama-lama. Kuelus jiwa dengan segenap
kesabaranku. Benar kata si cita “Sakitnya tuh disini.”
Sidang tak semudah dan sesulit yang
kubayangkan. Persiapan maksimal membuatku tampil tampan maksimal di hadapan
penguji sampai-sampai aku disuruh revisi lagi. Wislah aku rapopo
Selepas sidang kutelpon Emak.
“Alhamdulillah mak. Sidangnya lulus. Semua
ini berkat do’a Emak.”
Terdengar desis hamdalah jauh disana.
Aku pun jadi tak sabar untuk pulang. Hingga akhirnya kuselesaikan segala
adminstrasi dan revisi lalu pulang.
Perjalanan enam jam yang aku butuhkan
untuk pulang ke rumah. Ketika hampir sampai, dari jauh Kulihat Emak sedang
menantiku di mulut pintu. Kuucapkan salam lalu kucium tangannya penuh hormat. Dengan
penuh senyuman aku keluarkan selembar kertas dari tasku.
“Emak. Lihat ini. Ini untuk Emak.”
Emak pun perlahan membuka kertas itu. Dengan sedikit terbata emak berkata.
“Undangan Wisuda, Tanggal 26
Februari 2014.”
Betapa senangnya emak membacanya. Entah
apa yang dirasakan oleh hatinya. Yang jelas kulihat mata Emak berkaca-kaca. Jelas
sekali kulihat hingga aku pun merasakan sesuatu yang tak dapat kuungkapkan.
Wisuda memang bukanlah masalah
tuntasnya pendidikan dan gelar! Tapi, ini berbicara tentang sebuah nilai. Nilai
yang akan kita berikan untuk diri sendiri dan orang sekitar. Nilai tentang sebuah
perjuangan memerangi kebodohan. Satu kata yang kuingat dari Imam Syafi’i: “Barang
siapa yang tidak merasakan pahitnya menuntut ilmu, niscaya dia merasakan
pahitnya kebodohan seumur hidupnya.” click to tweet
© 2015. Sanggar Kata