Sanggar
Kata ~Cerpen | Kebebasan
tentu patut dirayakan. Setelah keluar dari ruang ujian dia langsung berteriak
sekuat tenaga. Merdeka! Kebahagiaan akan lengkap jika dinikmati dengan
corat-coret seragam lalu menggantungkanya di kamar. Seakan menggantungkan
seragam pensiun dari jabatannya sebagai seorang pelajar. Itulah sikap yang
paling hebat.
Bagai
Negeri Palestina yang dijajah Israel, otaknya diserang oleh rudal soal
bertubi-tubi. Rumus-rumus yang bergerilya di otaknya telah mematikan pikirannya
hingga dia harus memasang tebal-tebal tekadnya. Kalau bukan karena semangat
menatap masa depan maka pensil runcing pun sudah patah dari tadi. Pengorbanan
itu yang membuatnya bertahan hingga merdeka. Maka pantas jika hal itu harus
dirayakan.
“MERDEKA!!!”
Puluhan
mata di luar ruangan menatapnya tajam saat ia berteriak. Ia mengenal beberapa
mereka, para pejuang yang telah menempanya menjadi pejuang yang baru. Ia
melihat sekitar. Tak ada yang perlu dirisaukan. Serentak setelah itu ia
keluarkan pylox dari tasnya dan mulai mencorat-coret temannya yang lain.
Keramaian pun tak terelakkan. Tiga tahun
belajar, tak ada salahnya sehari saja dirayakan. Baju mereka yang putih suci
berganti warna pelangi. Dari jauh sepasang mata memakinya. Sosok lelaki itu
mendekat. Mata merah yang melucuti nyalinya kini berdiri dihadapannya. Plakk!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipinya.
“Bodoh!
Dasar anak tak berguna. Seharusnya kau bersujud bukan corat coret seperti ini!”
Teman-teman
sekitarnya bubar tanpa menunggu aba-aba. Dia masih berdiri memegangi pipinya
yang merah dan sudut bibirnya yang berdarah.
***
Sesosok
pria bertubuh tambun menyodorkan secarik
kertas dengan sedikit bergetar padanya. Ia tahu temannya itu gugup, tetapi
berusaha mengendalikan diri.
“Ambillah
ini! kuharap akan bisa membantu. Aku tahu kau akan membutuhkannya.” Ia lalu
duduk dan menepuk pundaknya. “Aku hanya ingin membantumu.”
“Aku tak
butuh bantuanmu.”
“Sudahlah
tak usah kau munafik. Semua kita tahu ini hanya tradisi bertahun-tahun.
Bukankah jika semua lulus nama baik sekolah kita pun tetap baik.”
“Selalu ada
alasan para pengecut untuk sebuah pembenaran.”
“Dasar sok
suci. Orang yang paling pintar saja menggunakannya, semua teman-teman kita pun
sama. Kenapa kau keras kepala pada kebodohanmu. Apa kau tak ingat saat kepala
sekolah memarahimu karena salah menulis kode soal? Aku hanya ingin kita lulus
bersama.”
“Ujian
bukan soal lulus atau tidak. Tapi soal keberanian!”
“Apa yang
kamu dapatkan dari keberanian? Jika itu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri.
Dasar bodoh!”
“Biarkan
aku tetap bodoh, yang penting bukan pengecut yang munafik.”
“Aku bukan
pengecut!”
“Kalau
begitu, kau ambil ini dan buang!”
Anak
berwajah bulat itu menggeser bangku dan pergi dari hadapannya. Dia bersungut-sungut.
Kok masih ada orang bodoh yang tak mau dipintarkan di dunia ini.
Kertas itu
masih tergeletak di atas meja. Ketika itu dia hanya terdiam gamang menatap
kertas itu. Ia ingat di hari pertama, ketika dia sulit mengerjakan soal. Bahkan
saking pusingnya, sampai sampai dia salah menuliskan kode soal.
Malam
semakin larut. Otaknya pun semakin overload. Bukankah tak ada salahnya jika dia
mencobanya. Dia akan lebih santai, cukup tutup buku dan hafalkan saja
jawabannya. Selesai.
***
“Pada hari
ini akan Bapak umumkan bahwa siswa sekolah kita semua lulus UN. Kita patut
bersyukur dan berbangga diri.” Sontak saja siswa-siswa berteriak gembira, ada
yang bersujud dan menangis senang.
“Tapi, . .
.” kata-kata kepala sekolah terhenti. Para siswa pun terdiam.
“Ada satu
orang yang tidak lulus. Ada 1 pelajaran yang nilainya dibawah standar.” Suasana
semakin hening.
“As-Shiddiq”
Semua mata
memandanginya. Siswa yang berteriak MERDEKA paling lantang di hari terakhir
ujian dan mencoret-coret bajunya. Lalu dia dimaki-maki dan ditampar wajahnya di
hadapan umum.
“Untuk apa
kalian berbangga atas kecurangan?! Dasar pengecut!”
Anak itu
lalu pergi. Iya pergi. Langkahnya diantar tatapan teman-temannya hingga ujung
tikungan dan hilang.
©2015. Sanggar Kata