Bang Amin masuk ruangan dengan muka
garang. Sorot matanya tajam. Alisnya beradu. Rahangnya yang tegas menunjukkan
dia sedang tidak main-main. Sambil menggebrak meja dia bertanya.
“Siapa yang melakukan semua ini?!” Tak
ada jawaban.
“Jangan sampai saya mengulang kejadian
2 tahun yang lalu!” Ancamnya. Keadaan semakin gawat. Beberapa anak muda yang
sedari tadi main kartu segera berhenti. Mereka tak mengerti kenapa ketua
tiba-tiba marah. Bahaya kalau dia melakukan kejadian dua tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu langit dipenuhi
kepulan asap hitam. Bumi dipenuhi kericuhan. Teriakan orang-orang anarki
bercampur jeritan wanita dan anak-anak yang berlari ketakutan. Api yang
berkobar begitu gagah menjilati bibir langit malam yang hitam. Kantor kepala
desa dibakar.
Berawal dari kecurangan penghitungan
suara pemilihan kepala desa, suara rakyat dipermainkan. Ada oknum yang seenaknya
melakukan hal itu. Melihat kenyataan yang seperti itu Bang Amin tidak tinggal
diam. Jiwanya terbakar. Amarahnya meluap. Dia sulut amarah pemuda-pemuda yang
lain, yang akhirnya disulut pula lah bensin yang telah disiramkan ke kantor
desa tersebut. Api pun seketika menjelma raksasa. Polisi datang tanpa diundang.
Bang Amin dan beberapa pemuda yang lain diburu. Beberapa hari setelah itu
mereka ditangkap dan beberapa hari pula media ramai memberitakannya.
Dipenjarakan untuk kebebasan. Penjara
yang menjelma surga firdaus. Dia melakukan yang dia mau tanpa ada satu pun
larangan. Bersama dengan kawanan nara pidana yang lain dia berkawan, entah itu
koruptor entah itu pembunuh yang jelas mereka pun berkelas. Tidak butuh waktu
lama untuk membuatnya tenar disana. Tidak perlu pengumuman untuk memberitahu
kejahatannya.
Suatu pagi, setelah selesai olah raga
Bang Amin melihat seorang napi yang berbeda. Dari tadi dia memperhatikannya. Orang
itu berperawakan gemuk dan perkasa. Tak ada sebatang rambut pun yang tumbuh di
kepala yang mirip lapangan golf itu. Bang Amin dipanggil olehnya.
“Hei preman kampung. Sini gua kasih
tahu sesuatu!”
Bang Amin panas dipanggil seperti
itu. Dia remas keras baju orang itu dan mengancam.
“Lu jangan sembarangan manggil gua!
Botak!!!” si botak tertawa.
“Kenapa? Lu mau bakar gua?” Ledeknya.
Orang-orang yang ada disana menertawakannya.
Bang Amin tak terima dihinakan
seperti itu. Dia hantamkan tinju ke
perut yang lemu itu berkali-kali. Si botak gendut itu pun terjerembab. Bang
Amin mengeluarkan pisau dari saku celananya dan Bersambung. . .
Copyright ©2013. Muzhoffar