P
|
rasangka buruk pun datang saat Ray
melihat seorang nenek menaburkan air dan tanah di dekat kamar mandi. Ray
menegurnya, nenek itu pun gugup bukan main. Firasatnya tak salah, pasti ada
sesuatu yang disembunyikan. “Agar anaknya betah di pesantren.” itu jawaban yang
dia dengar.
“Nama cucu nenek siapa?” Wanita setengah senja itu tak menjawab.
“Nama nenek siapa?”
Perempuan itu pun cepat-cepat
pergi meninggalkan tanda tanya besar di kepala Ray. Ray merasa heran dengan
sikap nenek tadi. Dia memang tak sengaja menyaksikannya melakukan hal itu. Hal
yang sangat mencurigakan, kenapa tidak? Disini tak ada orang, karena semua
santri telah di masjid. Ditambah lagi jawaban ibu itu terdengar gugup dan kaku.
Jangan –jangan nenek itu?
Sanggar Kata
Setelah maghrib ust. Rasyid
membetulkan air di belakang asrama, katanya air yang ke rumah Ummi macet, tak mengalir.
Sebatang lampu senter menemani, lampu di belakang sana mati. Gelap.
Saat itu para santri sedang
bersholawat di masjid. Biasanya memang begitu kalau malam jum’at.
Baru beberapa saat setelah
betulkan air, Ustadzah datang mengantarkan makanan. Wah pas sekali lagi laper
begini. Lalu mereka bilang kalau ustadz-ustadz harus ronda malam ini, katanya tadi
setelah maghrib ada setan di belakang sana. Ust. Rasyid hanya terkekeh
mendengar itu. Mereka tak tahu kalau tadi pas benerin air, dia sempet
nakut-nakutin santri yang lewat. Mungkin santri itu lapor. Bisa jadi dia yang
dikira setan. Dia hanya tertawa.
“Jangan di kamar saja! Ada orang
menyusup tidak terdeteksi.”
Ust. Rasyid kaget membaca sms
dari Abuya, ada apa ini? Terlihat Ust.
Ahmad membawa peralatannya, katanya disuruh benerin lampu yang mati di belakang
rumah Buya. Ust. Rasyid menanggapi dengan biasa, pasti pekerjaannya tadi dikira
ada orang penyusup pikirnya. Dia pun santai melanjutkan menyantap makanan.
“Assalamu’alaikum ustadz. . .
bisa gak minta tolong benerin jendela
kami?” tegas beberapa santri dari luar kamar.
“Kenapa harus malam-malam begini?
Besok aja!” kata ust. Rasyid.
“Penting kali lah. Kami takut.”
Akhirnya ust. Rasyid pun
menyanggupi, alangkah terkejutnya dia saat melihat suasana pesantren sangat sepi.
Kelas-kelas kosong. Padahal seharusnya mereka belajar, karena besok ujian.
“Anak-anak tadi disuruh ke kamar,
sebagian santri yang besar istighosah bersama ust. Raden di mesjid.”
Santri di kamar? Istighosah? Ada
apa ini sebenarnya, kenapa malam ini begitu aneh. Beribu tanya muncul.
“Ust gak tahu ya? Tadi ada
nenek-nenek naburin air dan tanah di deket kamar mandi samping rumah ust.
Sulaiman.”
“Trus . . ?”
“Makanya ummi melarang kami lewat
sana, takutnya kenapa-kenapa.”
“Trus . . ?”
“Ustadz ni woy, serius lah ini!”
Ust. Rasyid akhirnya tau
jawabannya. Mungkin ada sebuah santet yang menyerang pesantren. Sehingga kalau
ada yang menginjak taburan tadi bisa dikendalikan dari jauh seperti boneka yang
bisa dikontrol begitu.
Pantas saja malam ini begitu
berbeda. Dia tak habis fikir, masa di zaman yang sudah canggih ini masih ada
hal-hal begituan. Dia tak hiraukan itu, setelah betulkan kamar santri dia lewat
jalan yang dilarang. Tapi dia tak merasakan apa-apa. Biasa saja.
Di kantor, para ustadz sedang
berkumpul, “kita harus bersiap malam ini!” terang ust. Rozi.
“Bersiap untuk apa?” Tanya ust.
Rasyid.
“Bisa jadi ada serangan malam
ini!” ust. Raden pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara pintu
diketuk. Wah, siapa itu? Orang bukan? Lalu pintu terbuka, seorang santri
ngos-ngosan. Ketakutan.
“Tolong kami ustad . .”
“Kenapa?”
“Ray ustadz. . . .”
“Kenapa dia?”
“Dia menjerit-jerit, lehernya
seperti ada yang cekik!”
“Apa?!!” coba hubungi ust.
Sulaiman!”
“Ust. Sulaiman tak ada di rumah.”
“Sudah kuduga.” Batin ust. Raden,
“Baiklah. Kami segera kesana!”
Pukul sebelas lewat malam itu.
Serangan telah dimulai. Langit gelap tanpa bulan dan gemintang. Kesunyian
meneriakan jerit-jerit ketakutan. Aroma kegelapan tercium.
Para pemuda itu pun berjalan
menghempas kegelapan. Sang angin memainkan ujung sorban yang melingkar di
badan. berbekal senjata keimanan di hati meneguhkan langkah demi langkah.
Serangan kejahatan harus dilawan!
Seorang santri meraung-raung
kesakitan, berguling-guling menahan cekikan. Seandainya cekikan itu nampak, pasti
ada sepasang tangan berkuku panjang mencekik kuat di lehernya. Mungkinkah ini
akibat dari pertemuannya dengan seorang nenek sore tadi? Entahlah.
Ust. Ahmad mengeluarkan
senjatanya. Lantunan ayat-ayat suci dibacakan. Beberapa santri mencoba membantu
menenangkan korban. Malam itu begitu mencekam! Ada dua kekuatan besar
bertarung.
Tampaknya bacaan tadi belum
berpengaruh. Roh jahat lebih kuat menguasai. Namun, dia tak menyerah begitu
saja. Semakin keras ayat-ayat suci dibaca, semakin keras juga cekikan yang
mendarat di leher. Bak sebuah tambang yang dililitkan, ditarik kuat tanpa
ampun! Mungkin itulah balasan dari keberaniannya yang seakan menantang. Dan
inilah yang tadi dikatakan penyusup yang tak terdeteksi?
Abuya pun datang membantu,
pertarungan semakin seru. Malam semakin tua, mendekati tengah malam. Berberapa
ustadz coba memerikasa tempat lain barangkali terjadi serangan yang sama.
Abuya memenangkan peperangan. Di
luar sana di lapangan segerombolan anjing berkumpul. Menggonggong ke atas
langit. Sepertinya itu sebuah mantra untuk memanggil roh-roh jahat yang lain.
Dengan sigap ust. Rasyid mengusirnya.
Ust. Rasyid berjalan diantara
kelas yang kosong dan gelap. Degup langkahnya terdengar seperti ada yang
mengikuti. Saat dia diam, langkah itu pun diam. Dia menoleh ke belakang. Dan
tiba-tiba, tak melihat apa-apa. Hanya perasaannya saja.
Entah apa yang dirasakan Ray
malam itu, setelah dia terbebas dari roh jahat, penyakit lamanya kambuh.
Terpaksa dia harus dibawa ke rumah sakit malam itu juga.
Malam-malam yang penuh misteri,
apakah itu penyebabnya kejadian sore itu? Entahlah, yang jelas malam itu ust.
Rasyid tak mudah memejamkan mata! Padahal fajar sudah hampir menjemput pagi.
Sanggar Kata
“Ada kejadian apa tadi malam?”
Tanya ust. Sulaiman setelah subuh. Ust. Rasyidi pun menceritakan semuanya. Saat
dia bilang ada orang yang menabur air dan tanah itu, ust. Sulaiman tertawa.
“Itu kan tradisi gayo biar anaknya
betah, dulu pas ane mondok di jawa juga pernah kaya gitu, tapi tetep aja gak betah.
Hahaha”
“Jadi . . ? #%%%&&%^^&”
Ust. Rasyidi tak berkata apa pun.
Di benaknya terbayang kejadian senja itu. Aakhhghh ada-ada aja.
TAMAT
Copyright ©2013. Muzhoffar