CERPEN CINTA | Kubuka mata perlahan dan kulihat samar-samar cahaya putih, seberkas
suara memanggil-manggil namaku. Semakin jelas kumelihat semakin jernih suara
kudengar. Terasa remuk tulang-tulangku. Kulihat infuse di atas kepalaku, kuedarkan
pandangan ke kanan, berdiri seorang laki-laki. Di sebelah kiri, ada meja dan
beberapa alat medis, dan berdiri juga beberapa wanita berbaju putih. Akhirnya
aku tahu dimana sebenarnya aku.
“Syukurlah akhirnya kau sadar setelah dua hari koma.”
“Kenapa aku bisa disini dok?”
“Sudahlah sebaiknya kau istirahat, jangan banyak bicara dulu.
Suster tolong ganti infusnya dan berikan obat. Tenang saja, gak usah khawatir,
keadaanmu akan baik-baik saja.” Pria berjas putih itu pun pergi.
Dalam waktu seminggu keadaanku semakin membaik, dalam waktu
seminggu juga aku bertanya-tanya namun tak satu pun orang berani menjawabnya.
Mendengar cerita dari suster, katanya maghrib itu mobilku menabrak sepeda motor
dari arah yang berlawanan. Untung mobilnya dibanting stir ke kiri sehingga terhindar
adu domba dengan sepeda motor, tapi naas mobilku menabrak tebing di sebelah
kiri.
“Apakah ada korban jiwa suster?”
“Hanya itu yang bisa kusampaikan padamu. Sudahlah jangan terlalu
anda fikirkan. Yang penting anda sembuh dulu.” Suster selalu bilang begitu saat
kutanya lebih jauh.
Aku tak pernah tahu apa yag terjadi setelahnya sampai suatu saat
aku dibawa ke sebuah tempat, kulihat tanah ditumbuhi batu nisan. Berderatan
jumlahnya. Langkahku terhenti pada gundukan tanah merah yang ditumbuhi potongan
bambu di atasnya, bertabur di atasnya bunga warna warni. Kakiku bergetar, tak
mampu kusangga berat tubuhku. Aku terjatuh. Kugenggam tanah merah itu, kucium
baunya. Air mataku terjatuh. Aku berteriak histeris. Seseorang menepuk pundakku
mengelus ketabahanku. Dalam tangis kubertanya.
“Benarkah ini dia?”
“Iya benar, ini kuburan anakku Fadhli. Dia mati saat perjalanan ke
rumah sakit.”
Sanggar Kata
“Apakah saya sudah bisa pulang dok? Karena saya harus segera
kembali ke Jakarta.”
“Kalau secara administrasi dan melihat keadaanmu kau bisa pulang,
tapi . . .” belum selesai dokter itu berucap, tiba-tiba datang dari mulut pintu
bapak-bapak dengan wajah garang.
“Mana orang yang menabrak anakku?! Bicaranya kasar. Mukanya merah,
urat-urat alisnya menegang.
“Jadi ini orang yang menbrak anakku?!” Aku diam saja, dokter dan
beberapa orang di ruangan itu mulai bangkit. Bapak setengah baya itu hendak
meremas kerah bajuku.
“Kau harus tanggung jawab! Gara-gara kau anakku satu-satunya hampir
mati!” bapak itu semakin beringas, orang-orang disana melerai. Keadaan memanas.
“Anakku koma selama seminggu! Sekarang dia cacat. Kalau kau tak
tanggung jawab, kubunuh kau!”
Bagai tersengat listrik 1000 watt. Aku merinding mendengar
ancamannya. Dokter coba menenangkannya. Aku meminta maaf.
Kemudian dokter mengajakku ke ruangan korban. Jantungku berdetak
tak karuan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Di ambang pintu aku
melangkah ragu, langkahku tertatih. Kuedarkan pangdangan. Setiap mata menatapku
tajam, seperti mendakwa seorang penjahat yang keji. Di sebuah ranjang tubuh itu
terbaring, kepalanya diperban, tangan kanan dan kaki kanannya juga sama. Wajah
pucat itu menatapku. Aku terhentak tak percaya dengan apa yang kulihat.
===
Cerpen ini lanjutan dari cerpen sebelumnya yang berjudul : Antara Aceh dan Jakarta.