Antara Aceh dan Jakarta 3

Antara Aceh dan Jakarta 3
Sanggar Kata | Aceh ~ Malam-malam berikutnya yang begitu berat, tak mampu kubenamkan diriku dalam mimpi. Tarik ulur masalah baru membuat pikiranku semrawut. Secangkir kopi pun terasa pahit. Siang hari pun terasa gelap. Apa yang harus kukatakan pada keluargaku di Jakarta? Kenapa aku tak kabur saja? Bukankah tak ada yang mengenalku disini? Bukankah di Jakarta juga sudah ada yang menantiku di pelaminan? Tapi, apakah seperti itu caraku membayar nyawa sahabat dekatku?

Tak seperti yang kubayangkan. Masalah gadis yang kutabrak tidak berhenti sampai di rumah sakit. Orang Gayo memiliki budaya kesukuan yang kuat. Ketika kutanya bagaimana penyelesaian kepada keluarga korban. Bapaknya menjawab.

“Kita selesaikan secara adat!”

Aku tak tahu adat mereka yang sesungguhnya, yang jelas aku harus menyembelih seekor kambing  lalu memngundang orang sekampung di rumah korban untuk melakukan do’a sekaligus makan bersama. Apalagi ternyata bapaknya itu adalah Pak Geuchik atau kepala desa yang biasa disebut dalam bahasa gayo Ama Reje atau tuan raja. Makanya tak aneh jika sangat memegang erat adat dan budaya. Hal ini dilakukan jika korbannya terluka di bagian kepala.

Aku tak keberatan jika aku harus menyiapkan seekor kambing untuk  acara itu, namun ada hal lain yang harus kulakukan. Hal yang membuatku seperti dalam labirin yang tak berujung. Aku ingin marah tapi sama siapa aku harus marah. Bukahkah semua ini adalah kesalahanku? Kenapa juga Fadhli harus mati? Aku benar-benar sendiri.

“Beginilah adat kami di Suku Gayo yang harus kau pahami. Setelah ini kau dan keluarga kami menjadi saudara.” Tenang rasanya aku mendengar hal itu. Kurasa itu lebih baik daripada melaporkanku ke polisi.

“Syukurlah kalau begitu.”

“Satu lagi yang harus kau lakukan.”

“Apa itu?”

“Kau harus menikahi Khalila.”

“Apa?!”


“Apakah memang harus seperti itu paman?”

“Iya, kau harus menikahi Khalila.” Jawab Ayah Fadhli.

“Bagaimana kalau aku tidak mau?”

“Keluarga mereka akan menuntut. Ini adalah hukum adat yang harus kau jalankan. Kalau tidak, ya hukum 
Negara yang akan bicara.”

“Apakah tidak ada jalan lain? Bagaimana jika aku bayar dengan uang berapa pun yang mereka inginkan?”

“Tidak semudah itu nak, tak semua bisa dibayar dengan uang. Coba kau bayangkan bagaimana perasaan orang tua yang memiliki gadis cacat yang tak ada satu pun pria mau menikahinya karena cacat? Cukupkah uang untuk membayar itu? Itulah sebenarnya adat kami untuk menjaga hal itu.” Aku terdiam tak mampu bekata apa pun.

“Hubungilah keluargamu, katakanlah yang sebenarnya terjadi.” Ayah Fadhli pun pergi meninggalkanku sendiri. Tak mungkin rasanya aku menceritakan tentangku, tentang tunanganku di sana. Pasti nanti hanya akan dianggap sebagai alasan untuk lari dari masalah ini. Aku haru bagaimana?

Dalam sujud-sujud panjang kukirimkan do’a-do’a. sungguh pundakku tak mampu mengangkat beban ini. Kepalaku pun tertunduk. Kupasrahkan hidupku dalam istikhorohku. Banyang-banyang masa lalu datang, acara seminar itu, tawa Fadhli sahabatku, kecelakaan maut, keluargaku, tunanganku, hingga aku berada disini. Apa yang harus kulakukan?

Jutaan pertanyaan muncul, antara janji dan tanggung jawab, antara nama baik dan kehormatan, antara pemberani dan pengecut, antara Aceh dan Jakarta. Mana yang harus kupilih?


“Saya terima nikahnya Alia binti Umar dengan mas kawin 20 gram emas dibayar tunai.”
Terdengar desisan hamdalah di ruang Masjid itu. Akad nikah pun ditutup dengan do’a, Beberapa tamu menjabatku mengucapkan selamat.

Aku tersenyum lebar menyambut semua itu, mereka tak pernah tahu apa yang terjadi setengah tahun yang lalu. Saat itu akad nikah di Aceh hampir diselenggarakan. Namun ceritanya berbeda, benturan di kepalanya yang menyebabkan dia pergi selmanya. Bahkan jasadnya disemayamkan hari itu juga.
Dua tahun berikutnya bayi perempuan lahir dari rahim Alia, aku menatapnya dengan rasa yang bercampur aduk. Bayi yang terlihat begitu cantik. Setelah kulantunkan adzan dan iqamah ditelinganya, Alia bertanya : “Mas, mau diberi nama apa bayi kita?”

“Khalila”

“Hah? Khalila?”


“Iya, Khalila. Khalila Khoirun Nisa.”

Tamat

=====
Belum tahu cerita sebelumnya? Silahkan baca Antara Aceh dan Jakarta dan Antara Aceh dan Jakarta 2

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form