Sanggar Kata | Aceh ~ Malam-malam berikutnya yang begitu berat, tak mampu kubenamkan
diriku dalam mimpi. Tarik ulur masalah baru membuat pikiranku semrawut.
Secangkir kopi pun terasa pahit. Siang hari pun terasa gelap. Apa yang harus
kukatakan pada keluargaku di Jakarta? Kenapa aku tak kabur saja? Bukankah tak
ada yang mengenalku disini? Bukankah di Jakarta juga sudah ada yang menantiku
di pelaminan? Tapi, apakah seperti itu caraku membayar nyawa sahabat dekatku?
Tak seperti yang kubayangkan. Masalah gadis yang kutabrak tidak
berhenti sampai di rumah sakit. Orang Gayo memiliki budaya kesukuan yang kuat.
Ketika kutanya bagaimana penyelesaian kepada keluarga korban. Bapaknya
menjawab.
“Kita selesaikan secara adat!”
Aku tak tahu adat mereka yang sesungguhnya, yang jelas aku harus
menyembelih seekor kambing lalu memngundang
orang sekampung di rumah korban untuk melakukan do’a sekaligus makan bersama.
Apalagi ternyata bapaknya itu adalah Pak Geuchik atau kepala desa yang
biasa disebut dalam bahasa gayo Ama Reje atau tuan raja. Makanya tak
aneh jika sangat memegang erat adat dan budaya. Hal ini dilakukan jika
korbannya terluka di bagian kepala.
Aku tak keberatan jika aku harus menyiapkan seekor kambing
untuk acara itu, namun ada hal lain yang
harus kulakukan. Hal yang membuatku seperti dalam labirin yang tak berujung.
Aku ingin marah tapi sama siapa aku harus marah. Bukahkah semua ini adalah
kesalahanku? Kenapa juga Fadhli harus mati? Aku benar-benar sendiri.
“Beginilah adat kami di Suku Gayo yang harus kau pahami. Setelah ini kau
dan keluarga kami menjadi saudara.” Tenang rasanya aku mendengar hal itu.
Kurasa itu lebih baik daripada melaporkanku ke polisi.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Satu lagi yang harus kau lakukan.”
“Apa itu?”
“Kau harus menikahi Khalila.”
“Apa?!”
“Apakah memang harus seperti itu paman?”
“Iya, kau harus menikahi Khalila.” Jawab Ayah Fadhli.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?”
“Keluarga mereka akan menuntut. Ini adalah hukum adat yang harus
kau jalankan. Kalau tidak, ya hukum
Negara yang akan bicara.”
“Apakah tidak ada jalan lain? Bagaimana jika aku bayar dengan uang
berapa pun yang mereka inginkan?”
“Tidak semudah itu nak, tak semua bisa dibayar dengan uang. Coba
kau bayangkan bagaimana perasaan orang tua yang memiliki gadis cacat yang tak
ada satu pun pria mau menikahinya karena cacat? Cukupkah uang untuk membayar
itu? Itulah sebenarnya adat kami untuk menjaga hal itu.” Aku terdiam tak mampu
bekata apa pun.
“Hubungilah keluargamu, katakanlah yang sebenarnya terjadi.” Ayah
Fadhli pun pergi meninggalkanku sendiri. Tak mungkin rasanya aku menceritakan
tentangku, tentang tunanganku di sana. Pasti nanti hanya akan dianggap sebagai
alasan untuk lari dari masalah ini. Aku haru bagaimana?
Dalam sujud-sujud panjang kukirimkan do’a-do’a. sungguh pundakku
tak mampu mengangkat beban ini. Kepalaku pun tertunduk. Kupasrahkan hidupku
dalam istikhorohku. Banyang-banyang masa lalu datang, acara seminar itu, tawa
Fadhli sahabatku, kecelakaan maut, keluargaku, tunanganku, hingga aku berada
disini. Apa yang harus kulakukan?
Jutaan pertanyaan muncul, antara janji dan tanggung jawab, antara
nama baik dan kehormatan, antara pemberani dan pengecut, antara Aceh dan
Jakarta. Mana yang harus kupilih?
“Saya terima nikahnya Alia binti Umar dengan mas kawin 20 gram emas
dibayar tunai.”
Terdengar
desisan hamdalah di ruang Masjid itu. Akad nikah pun ditutup dengan do’a,
Beberapa tamu menjabatku mengucapkan selamat.
Aku tersenyum lebar menyambut semua itu, mereka tak pernah tahu apa
yang terjadi setengah tahun yang lalu. Saat itu akad nikah di Aceh hampir
diselenggarakan. Namun ceritanya berbeda, benturan di kepalanya yang
menyebabkan dia pergi selmanya. Bahkan jasadnya disemayamkan hari itu juga.
Dua tahun berikutnya bayi perempuan lahir dari rahim Alia, aku
menatapnya dengan rasa yang bercampur aduk. Bayi yang terlihat begitu cantik. Setelah
kulantunkan adzan dan iqamah ditelinganya, Alia bertanya : “Mas, mau diberi
nama apa bayi kita?”
“Khalila”
“Hah? Khalila?”
“Iya, Khalila. Khalila Khoirun Nisa.”
Tamat
=====