-->

Dalam Lembaran Mushaf - Part 3

3 comments


“Mau apa sebenarnya ust ini?” Bayu menggelengkan kepala.
Tiga tahun kemudian.
“Kepada seluruh penguji semuanya harap bersiap di ruangan masing-masing. 5 menit lagi waktu istirahat selesai. Pastikan ketika bel masuk berbunyi semuanya sudah di posisi.”
“Siap. . .”
Sekarang Bayu sudah memasuki tahun-tahun terakhir di pesantren. Saat ini dia dipercaya sebagai penguji tes bacaan Al-Qur’an pada seleksi calon santri baru. Hah? Penguji tes baca Al-Qur’an? Bukankah dia dulu bacaannya paling ancur dan gak mau belajar?
Bayu menatap mushaf yang ada di tangannya. lembarannya sudah begitu lusuh. Namun dia tak pernah mau mengganti dengan mushaf yang baru. Setiap lembar yang dia buka tiba-tiba membuka lembaran masa lalu.
“Asiknya ya kelas Aliyah, Udah bebas. Dah gak ada lagi ust Hajjam. Udah gak ada lagi yang ngomel-ngomel setiap shubuh.”
Hari-hari berlalu biasa saja. Tapi lama-lama dia merasa ada yang berbeda dengan tahun sebelumnya. Tak ada lagi orang yang tiap pagi ngingetin buat baca Al-Qur’an dan mengevaluasi bacaannya. Rasanya sekarang dia gak punya target yang jelas setiap harinya. Dia pun merindukan ust. Hajjam. Namun kini dia sudah gak ada, karena ust. Hajjam hanya bertugas satu tahun di pesantrennya.
Kebutuhan untuk mahir membaca Al-Qur’an pun terasa, betapa tidak. Ketika liburan Bayu disuruh jadi imam sholat maghrib. Dia gak bisa mengelak. Dengan bacaan sebisanya dia pun maju. Lalu setelah selesai dia ditilang oleh tokoh agama disitu karena bacaannya yang melanggar UUD baca Al-Qur’an. Betapa malunya dia.
Tak sengaja saat merapihkan lemari, ada sesuatu yang menumbuk pandangannya. Sebuah mushaf yang masih baru hadiah dari kemalasannya masa lalu, serta kertas-kertas berkolom yang paling dia benci berserakan disana. Dibolak balik lembaran kertas itu,
“Inikah jawaban dari pertanyanku dulu?”
Akhirnya Bayu memutuskan dirinya untuk belajar Al-Qur’an dangan sungguh-sungguh. Dia gak mau malu lagi lantaran bacaannya yang blepotan. Segera ia datangi ustadz-ustadz, namun sulit sekali mendapatkan ust yang bersedia mengajari setiap hari, hanya hari-hari tertentu dan jam-jam tertentu. Karena jumlah kesibukan yang semakin padat seiring jumlah santri yang meluap setiap tahunnya. Namun semua itu tak menyurutkan nyalinya.
“Seandainya masih ada ustadz hajjam. . .” sesalnya dalam hati.
“Kak Bayu . . !“ adek kelas mengagetkan lamunannya.
“mm. . iya .. “
“kok malah disini? Tadi kata ustadz kaka harus segera masuk ruangan 10, para peserta sudah menunggu disana.”
“Baik, saya kesana.”
Bayu bertugas menguji anak-anak yang bakal masuk kelas 1 MTs, dia kadang-kadang tersenyum mendengar bacaan anak yang masih terbata-bata, beberapa mereka bisa mengikuti saat dibenarkan. Sampai tiba saatnya seorang anak yang mungil begitu sulit untuk diluruskan bacaannya. Sampe-sampe Bayu pengen nimpuk dia pake gardu saking keselnya. Mungkin kaya gini perasaan ust hajjam ketika dulu benerin bacaannya yang ancur. Bayu pun menyerah. Pasrah.
“Bacaan kamu bener-bener dek  . . ckckckc" (Bayu menggelengkan kepala, dalam hatinya dia bergumam “parah” kalo begini gimana mau lulus.”)
“Baiklah, kakak akan bertanya satu pertanyaan terakhir,
“Kenapa adek mau masuk pesantren?”
Sambil menunduk anak itu menjawab dengan polos
“Kata bapak, kalo bapak mati biar ada yang ngaji.”

Bayu diam tak berkata apa-apa, entah apa yang merenyuhkan hatinya. Tamat . . .

>>>Tak selamanya sesuatu yang buruk itu akan buruk selamanya>


Copyright © 2013. Muzhoffar

3 comments

masawan_moveElement('after',setting.taghtml,setting.index,'content-ads','article-post','beforeend'); });