Aku dan Kepingan Waktu |
Baru tadi malam kau katakan bahwa kau akan pergi, entah aku salah dengar atau kau salah ucap. Sungguh semua itu membuatku tak mampu berkata apapun. Jengkal demi jengkal waktu kian merapatkanku pada penyesalan.
Sungguh terasa bentangan waktu yang begitu lama telah membuat kokoh jeruji yang memisahkan ruang. Bahkan kita hanya bisa berbicara dengan kebisuan masing-masing. Dan mempertajam panah-panah kecurigaan. Tak pernah terlihat celah ini sebelumnya, sebelum jarak telah jauh menjemputmu dari tempat dimana kita tak membutuhkan orang lain. Tempat yang bagiku potongan surga.
Semenjak kecurigaan malam itu, aku menuduhmu dengan sesuatu yang buram. Pertengkaran kecil yang menyulut api dalam darah yang mengalir. Kau seakan tak menghargaiku selama ini. Kau yakinkanku, namun tak ku percayai lagi. Segenap rasa yang telah mengukir batu jiwa kini telah jatuh meretakkan segenap harapan. Tak ada lagi arti nyanyian tangisanmu yang sesekali butirnya terjatuh dari mata berhiaskan pelangi. Membelah cekungan pipi. Tak mampu memadamkan jiwa yang terbakar dan mengembalikan tulang-belulang yang telah menjadi abu.
Kekhawatiranku tentang perjalananmu pergi sendiri meresahkan jatungku, detaknya seribu kali lebih cepat. kutahu kau ingin ada malaikat yang menyertaimu pergi. Kau tanya dan kujawab tidak! Aku tak bisa. Bagaimana mungkin sepotong sayap bisa terbang jika sepotong sayap yang lain telah hilang.
Perjalanan waktu telah menyeretku pada sesuatu yang sebenarnya. Kutemukan jawaban dari keresahan yang menjala segenap pikiranku. Aku tahu kalau ku telah gelap mata. Hanya satu yang bisa kulakukan. Menemuimu. Mengembalikan kertas putih yang telah tergores tinta. Namun apakah masih bisa kaumenerima?
Sepanjang waktu yang mengalir lambat mengeluarkan keringat dingin tentang cerita takut itu. Seorang ibu yang ditinggalkan anaknya berlayar ke sebrang. Berkali-kali melihat jam dinding dengan resah. Seperti itulh saat itu. Kulawan berontak waktu. Sebelum kakiku melangkah. Kaki-kaki jiwaku berlari lebih dulu. Sebelum mulutku mengatakan sebuah kata. Mulut-mulut jiwaku lebih dulu bertanya kau dimana. Wlaupun tak dapat kudengar jiwamu bicara apa.
Keresahan memperebutkan jiwaku yang kini semakin takut. Aku takut kalau kau pergi tanpa sedikitpun melihat peluhku yang berlari mengejarmu. namun, aku lebih takut kalau kau pergi dengan membawa rasa kalau aku tak peduli. Aku yang kini memacu pacuan waktu dengan langkah tertatih tanpa sepatu.
Langkahku pun terhenti melihat sebuah ular besi berlari. Dari tempat kumenatapnya kau bilang “aku sudah pergi dan tak mungkin kembali.” Kukatakan “aku sudah disini.” Semuanya terlambat. Kepingan waktu telah membawamu lebih dulu.
Copyright © 2013. Muzhoffar
crita nyata apa fiktif ni sob, ditunggu kelanjutanya lho,,
he
ceritanya cuma fiktif sob.. makasih buat kunjungannya.
tunggu aja cerita selanjutnya . .
wahhhh...hebat antum bos, ajarin ane cari inspirasi keyak antum dong, ditunggu kunjungan baliknya yaaaaa
trima kasih,, inspirasi tuh ada aja sebenernya,,
cuma kadang kita gak nyadar
hehehehee