Jejak-jejak Sepatu Tua




Kepingan waktu yang tercecer kadang menyimpan kisah  masa lalu, masa yang kadang begitu saja teringat saat  melihat sesuatu. Sesuatu yang bisa berbentuk apa saja, dimana saja, dan kapan saja menemukannya. Seperti saat kulihat sepatu ini, sepatu yang jejak-jejaknya kan kau dengar.
            Sejauh mata memandang, seluas itu hamparan awan menawan, membelai selembut kapas. kabut tebal menyelimuti tubuh, mengelus-ngelus kulit yang berpeluh. Padahal jaketku tak kalah tebal.
            “ ayo kita lanjutkan! Puncak sudah  di depan mata.” Kukencangkan tali sepatu, disinilah awal kuteringat kisah itu.
            Liburan sekolah, waktu yang tepat untuk naik gunung. ini yang kesekian kalinya buat Wandi. Entah sejak kapan dia suka dengan kegiatan menantang itu, mengkin sejak dia pindah sekolah ke luar kota dua tahun lalu. Tempat sekolahnya dekat sekali dengan jalur pendakian gunung tertinggi di pulau jawa itu.
            Banyak terjadi korban hilang disana, saat ada orang yang berani kesana, maka dipastikan dia tidak kembali. Kalupun kembali, pasti dalam bentuk lain. Pernah beberapa tahun silam sebuah pesawat jatuh disana, dan evakuasi pun sangat lambat karena medan yang sulit diterjal. Para ahli metafisika dan para alam ghoib berkeyakinan para penghuni marah karena mereka lewat disana tanpa izin. Mereka menginginkan korban.
            Cerita-cerita tentang kesangaran gunung itu dia jawab dengan menaikinya, dia berhasil naik ke puncak tanpa mengalami kesulitan apapun. Meski saat dia kembali turun, ibunya memarahinya habis-habisan.
            “ kalau kamu mati disana gimana?’’
            “ buktinya aku baik-baik saja mah, cerita orang-orang itu hanya bohong. Mereka tak tahu apa yang ada disana. gunung itu indah mah, ada kebanggaan saat kita berada disana.”
            “Mama cuma takut nasibmu sama kaya mereka.”
            “Nasib itu ditangan Tuhan mah..”
            “Mereka menjadi korban karena itu nasib mereka.”
            “ Awas aja kalau kau berani naik sekali lagi!” ancam ibunya.
            Wandi memang nekad, larangan ibunya tak dia hiraukan. saat liburan kenaikan kelas tiga, bersama tiga orang temannya berencana naik lagi ke puncak gunung untuk yang ketiga kalinya. Segala perlatan dan perbekalan sudah disiapkan. Pendakian kali ini lebih menantang, karena mereka akan lewat jalur baru yang berbeda dengan jalur pendakian sebelumnya.
          Jalur yang didaki kali ini lebih landai, memakan waktu lebih lama untuk didaki. walaupun pendakian ini tak begitu melelahkan, tapi berpengaruh pada bekal makanan mereka. Nyali mereka diuji dengan keringnya tenggorokan. kelaparan melilit seluruh tubuhnya. Badan mereka terkelupas sedikit-sedikit oleh keringat yang menetes. Akan tetapi hasrat mereka terbang melesat ke puncak dari raga yang merangkak setapak.lajengkeun maca


 Copyright © 2012. Muzhoffar

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form