Jejak-jejak Sepatu Tua |
Bagi seorang pendaki, berada di puncak gunung yang dituju adalah
kebanggaan terindah dalam hidup. Rasa lelah dan capek hanya asap yang hilang
setelah api menuju puncak tersiram oleh hujan kebahagiaan. Kini semua itu
terekspresi dalam teriakan sekuat-kuatnya yang memecahkan tebing jurang.
“ kau mau tntangan
baru gak?” Wandi membuka pembicaraan disela mereka berfoto-foto.
“Tantangan apa?”
“Turun ke kawah
sana.”
“Hah? Apa?! Turun ke
kawah? Gila lu ye.” Kedua temannya kaget.
“Masa kita dah
beberapa kali naek gunung ga pernah turun ke kawahnya.
“Yawdah kalo lu
semua cemen,
“oke deh, gw ikut."
“Tapi kalo terjadi
sesuatu gimana?”
“Lu emang penakut,
kalo ga berani lu tunggu aja disini.”
“Banci lu!”
Akhirnya, mereka berdua
yang turun. Teman yang satunya hanya mampu menatap punggung yang semakin
menjauh. Dari ketinggian sekitar tiga puluh kaki itu mereka terlihat seperti
semut hitam. Namun suara mereka menggema. Bangga menaklukan kawah, tak berapa
lama setelah itu, tiba-tiba kabut turun mengaburkan pandangan. Seiring itulah
kekhawatiran turun menyelimuti perasaan teman wandi yang berada di atas. Berkali-kali
dia berteriak meminta kedua temannya kembali naik. Tapi tak ada jawaban!
Kawah tak tampak
lagi dalamnya. Kabut menebal disana. Apakah mereka baik-baik disana? Ataukah
terjadi sesuatu pada mereka?. Keringat dingin keluar. Ketakutan semakin
menjadi. Tak ada orang untuk minta bantuan. Nyanyian malam semakin terdengar
menyeramkan. Mendetakkan jantung semakin cepat. Dia tak tahu apa yang harus dia
lakukan.
Copyright © 2012. Muzhoffar