Jejak-jejak Sepatu Tua 2

Jejak-jejak Sepatu Tua

Bagi seorang pendaki, berada di puncak gunung yang dituju adalah kebanggaan terindah dalam hidup. Rasa lelah dan capek hanya asap yang hilang setelah api menuju puncak tersiram oleh hujan kebahagiaan. Kini semua itu terekspresi dalam teriakan sekuat-kuatnya yang memecahkan tebing jurang.
            “ kau mau tntangan baru gak?” Wandi membuka pembicaraan disela mereka berfoto-foto.
            “Tantangan apa?”
            “Turun ke kawah sana.”
            “Hah? Apa?! Turun ke kawah? Gila lu ye.” Kedua temannya kaget.
            “Masa kita dah beberapa kali naek gunung ga pernah turun ke kawahnya.
            “Yawdah kalo lu semua cemen,
            “oke deh, gw ikut."
            “Tapi kalo terjadi sesuatu gimana?”
            “Lu emang penakut, kalo ga berani lu tunggu aja disini.”
            “Banci lu!”
            Akhirnya, mereka berdua yang turun. Teman yang satunya hanya mampu menatap punggung yang semakin menjauh. Dari ketinggian sekitar tiga puluh kaki itu mereka terlihat seperti semut hitam. Namun suara mereka menggema. Bangga menaklukan kawah, tak berapa lama setelah itu, tiba-tiba kabut turun mengaburkan pandangan. Seiring itulah kekhawatiran turun menyelimuti perasaan teman wandi yang berada di atas. Berkali-kali dia berteriak meminta kedua temannya kembali naik. Tapi tak ada jawaban!
            Kawah tak tampak lagi dalamnya. Kabut menebal disana. Apakah mereka baik-baik disana? Ataukah terjadi sesuatu pada mereka?. Keringat dingin keluar. Ketakutan semakin menjadi. Tak ada orang untuk minta bantuan. Nyanyian malam semakin terdengar menyeramkan. Mendetakkan jantung semakin cepat. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan.


 Copyright © 2012. Muzhoffar

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form