Siang telah kehilangan mentari. Malam datang di siang hari. Sepanjang perjalan pulang
tak ada kata, Dani diam tanpa tutur begitu juga nida, hanya
celoteh anak-anak mereka yang
ada di mobil itu. Tak seperti awal berangakt yang terbayang begitu indah bisa
bertemu kawan lama.
Masa lalu terlihat di kaca spion mobil, ketika dulu
ian datang hendak meminangnya, saat itu dia bertanya kepada ayahnya, apakah sudah
ada yang menyunting putri bungsunya itu?’
Ayahnya berkata kalau belum ada yang pernah datang
mempersuntingnya, lalu ayahnya meminta waktu satu minggu untuk memberi jawaban.
Saat nida ditanya pun dia hanya terdiam, bahkan menangis.
Nida paham betul betapa hebatnya seorang dani, pria
berakhlak bagus, mapan, dan seoarng agamis yang taat. Wanita mana pun akan
mengidamkannya, tapi yang menjadi duri di hatinya adalah ian yang selama ini
berhasil menjatuhkan hatinya, dan dia tak mampu bangkit untuk berpaling ke lembah
hati yang lagi.
Kabar yang hilang tentang sebelah hatinya itu pun
membuatnya ragu, itu mungkin hanya kenangan masa muda yang tidak serius. Hal
itu diperkuat juga dengan tak adanya balasan e-mail tentang hal terpenting bagi
semua wanita di dunia.
Kenyataan yang sulit, saat keinginan jauh terbang di
langit, tetapi kenyataannya dia berada di jurang. Bebatuan yang menghimpit
kebahagiaan jiwanya. Hati yang terus disabar-sabarkan. Bagaimana pun juga dia
hanya mengagumi sosok suaminya bukan mencintainya.
Di awal pernikahan dani merasakan hal yang aneh dengan
istrinya itu, namun dia menyembunyikannya. Pernah berkali-kali dia
konsultasikan kepada ustadznya, beliau hanya memintanya untuk tetap mencoba
tegar. Pondasi keluarga yang dibangun di atas rasa yang disembunyikan
masing-masing.
Dani berfirasat ada masalalu yang tersimpan dan
terkubur yang bersembunyi di balik rongga dadanya, tapi dia tak pernah mau
menanyakan hal itu. Dia begitu yakin dengan hasil istikhorohnya sebelum
melangkah ke pelaminan. Kalo nida lah bidadari tak bersayap yang ditakdirkan
untuknya.
Di tahun pertama berita gembira datang tentang
kehamilan istrinya, seorang pria tampan terlahir. Tiga tahun setelah itu bayi
perempuan mungil kembali menambah kebahagiaannya. Ian semakin kuat keyakinan
terhadap istrinya dan membuang jauh-jauh semua prasangka yang tak jelas
sumbernya.
Secangkir kopi panas mengepul di pagi hari sebelum dia
beranjak pergi, kopi hitam sisa pekatnya malam. Dicampur serbuk seputih
gemintang yang manis. Mengawali kebahagiaan hari-harinya. Sempurna sudah
kebahagiaannya saat dia kecup kening istrinya ketika berpamit.
Nida
berharap suaminya tak tahu perbincangan tadi, walaupun dia sempat ragu. Karena saat
dia berbalik badan, ternyata suaminya
telah berdiri di belakangnya. Mengajaknya pulang.
Batinnya kembali bekobar. Sungguh dilema besar.
Saat
matahari mulai hangat dan bulat, segelas kopi hitam hangat pun tersedia, aromanya mengepul bersama asap rokok
ke angkasa. Tak ada suara tak ad sapa.
Seperti biasanya.
Malam yang hendak pergi selalu tertuang
dalam gelas hitam beraroma kopi, setap pagi.
Itu adalah sisa-sisa kegelapan dan kegetiran. Entah kenapa kopi hitam itu
begitu pahit, padahal selalu ditambah butiran-butiran seputih bintang yang
manis. Mungkin karena kopi itu terbuat dari bubuk malam yang pekat. Kali ini dia beranikan tuk
bertanya atas sikap suaminya yang begitu berbeda. Dia terlihat sedikit kecewa.
“ aku
tahu menjalani hidup tanpa cinta itu menyakitkan. Pahit! Seperti kopi tanpa
gula.”
Sikapmu
yang janggal padaku yang semakin mengikis tipis kesabaranku, kubalut dengan
keyakinanku padamu yang harus terus kutambah tiap hari, agar tetap kubisa jaga
ikatan suci ini.”
Kenapa kau
berkata begitu?”
Tak perlu
kau sembunyikan lagi semua ini, aku tahu semenjak kau disini. Aku hanya mencoba
membangun cinta,.” Nida menangis.
Kutau
cinta itu tak bisa diganti rupa, maka dari itu tak usahlah kaucintai aku
dkarena rupaku karena aku tetap kan menjadi aku bukan dia!”
Kau
taukan betapa pahitnya cinta tak terbalas?” dani
berlalu pergi. Tanpa kecupan di kening seperti biasanya. Nida meneguk kopi yang tersisa setengah gelas itu. Pahit.
“Apakah sepahit itu cinta yang kuberi?”