Sanggar
Kata| Cerpen Cinta ~
Malam tadi ingin sekali aku menidurkan lelah, namun rasa kantuk tak mampu
menjemput jua. Tulang punggung yang kuluruskan menindih mamoru yang terbujur
kaku. Kuambil dia dan kupeluk hangat. Bulu lembutnya membelai wajahku. Entah kenapa
wajahnya terbayang di langit-langit kamar. Aku coba berbaring ke kanan,
ternyata dia sedang tersenyum menatapku. Aku, mama, dia dan mamoru. Selfie disamping
kue bermenarakan lilin yang bersinar. Aku tersenyum membalas senyumnya.
Aku ingat
kejadian sore tadi. Ketika hendak buka puasa bersama teman-teman di masjid alun-alun.
Seorang gadis kecil menangis berlari kesana kemari mencari seseorang. Suasana
alun-alun yang ramai, membuatku tak mampu menangkap jelas jerit tangisnya. Mata
gadis itu tampak takut. Kasihan. Aku coba mendekatinya. Aku berlulut dan
bertanya kepadanya.
“Ade
kenapa?” gadis itu tak menjawab, hanya satu kata yang dia sebut-sebut sambil menangis
Ayah.. ayah.. ayah..
“Emang
ayahnya kemana?” tangisannya semakin keras. Aku bingung harus bagaimana. Mana mungkin
aku harus mencari seseorang yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Aku coba
mengelus kepanikanku. Kulihat seorang pria berseragam. Aku gendong gadis itu lalu
kulaporkan padanya. Pria itu berbicara lewat HT. Aku coba menenangkan gadis
kecil yang terus menangis. Tak lama setelah itu terdengar sebuah pengumuman.
“Mari kita
tunggu saja di pos, biar ayahnya mudah mencarinya.”
Lima menit
berselang, seorang pria berkaca mata datang. Raut cemas terlihat di wajahnya. Mungkin
dia juga terlalu lama mencari. Dia letakkan bungkusan di tangannya. Pria itu
langsung memeluk anaknya.
“Cup.. cup..
cup sayang. Sekarang Ayah ada sama kamu sayang. Udah jangan nangis lagi. Ayah
tadi abis beli makanan kesukaanmu.” Pria itu mencoba mengusir ketakutan
anaknya.
“Terima
kasih ya pak udah menemukan anak saya.”
“Berterima kasihlah
pada teteh ini yang udah melaporkan kesini.” Pria itu pun berterimakasih padaku
berkali-kali. Lalu dia beranjak pamit. Aku mengikuti langkah mata mungil itu. Mata
gadis kecil dalam pangkuan ayahnya. Tangannya memeluk erat leher sang ayah. Dia
teah menemukan kembali pahlawannya. Garis ketakutan pun sudah tak tampak lagi.
***
“Heh! Kok diem
aja gak dimakan? Bukannya dari tadi siang statusnya nunggu buka mulu. Sekarang udah
ada hidangan di depan mata malah dinganggurin aja.”
“Tau nih
dari tadi ngelamun aja. Mikirin siapa sih?”
“Jangan-jangan…”
“Ih. Apaan
sih. Kalian ini rese banget. Aku kepikiran gadis tadi.”
“Oh gadis
yang tadi kamu selamatin tuh? Untung ada kamu ya. Kalau gak,
“Kalau gak
kenapa?! Udah ah kita lanjutin makannya keburu isya.”
***
Sampai di
rumah, pikiran itu masih terbawa. Sebenarnya bukan gadis dan ayahnya itu yang
memenuhi pikiranku. Tapi aku teringat sosok dia. Dia yang begitu takut
meninggalkanku sendiri. Dia yang tak pernah bisa berkata tidak. Dia yang selalu
menepati janjinya.
Diawal dia
mengajariku berpuasa, dia selalu menjanjikanku hadiah. Semua makanan kesukaanku
akan selalu terhidang. Di sore menjelang maghrib, dia akan mengajakku
jalan-jalan dengan motor tuanya. Tak pernah ada cerita kesedihan ketika ku di sampingnya.
Menjelang remaja,
dia selalu khawatir jika aku keluar rumah. Aku tak suka dengan sikapnya yang
posesive. Jika menjelang sore aku belum pulang, dia terus-terusan bertanya aku
dimana, bersama siapa. Dia lebih memilih menjemputku daripada aku harus diantar
orang lain apalagi seorang lelaki. Padahal aku tahu, dia juga pasti lelah
setelah kerja seharian. Sunggguh aku kesal dengan sikapnya itu. Pernah aku protes.
“Aku sudah besar! Aku bukan anak kecil lagi! Aku bisa sendiri!” Dia diam saja. Mata
teduhnya akan berbicara. “Kamu gak usah khawatir, itu sudah jadi tugasku. Kau tanggung
jawabku sayang.”
Aku tak
bisa bayangkan bagaimana rasa di suatu hari, disaat semua orang akan gembira. Aku
akan menjadi sebatang duka. Tak ada lagi dada yang lapang tempatku bersandar,
tak ada pundak yang kokoh menahan semua keluh kesahku. Tak ada lutut tempat
kutumpahkan air mataku.
Sekali lagi
kuusap senyumnya dalam bingkai kenangan.
“Ayah,
engkau cuma satu dan satu satunya.”
“Nak,
kenapa kamu menangis?” Mama duduk di samping ranjang dan mengelus pundakku.
“Aku rindu
ayah ma.” Mama memelukku. Tak terasa air mata membelah pipi, butirnya jatuh pada
figura dalam dekapanku.
“Sudahlah
nak. Sebaiknya kau simpan rindumu. Biarkan malaikat menyampaikannya. Sebaiknya kau
tidur. Besok pagi kita harus sahur.”
Malam yang
semakin menua, ingin sekali aku menidurkan lelah. Namun, rasa kantuk tak mampu
menjemput jua. Kutumpahkan air wudu, lalu kucium tempat sujud dengan keningku. Dalam
doa-doa panjang. kutitipkan rindu sebatang duka pada malaikat yang turun di
sepertiga malam.
اَللهُمَّ اغْفِرْلِىْ ذُنُوْبِىْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِىْ صَغِيْرًا . . .Click to tweet